Beranda | Artikel
Kritik atas Istilah Persalinan Syari, Persalinan Maryam, atau Persalinan Qurani (Quranic Birth) (Bag. 2)
Minggu, 27 Oktober 2019

Baca pembahasan sebelumnya Kritik atas Istilah Persalinan Syar’i, Persalinan Maryam, atau Persalinan Qur’ani (Qur’anic Birth) (Bag. 1)

Posisi Melahirkan yang Ideal 

Melahirkan dengan posisi tegak (upright position) dan waterbirth menurut tinjauan medis

Dalam perspektif medis, wanita hamil perlu didukung untuk melahirkan dalam posisi yang dia sukai dan paling membuat dia nyaman dan senang, termasuk dalam posisi tegak (upright position) semacam duduk, jongkok, atau berdiri. Selama berada dalam posisi tersebut, kondisi janin harus terus dimonitor. Jika seorang ibu hamil lebih memilih posisi upright, maka harus didukung atau difasilitasi demi kenyamanan sang ibu, bukan karena akan ada manfaat klinis yang signifikan dari sisi memudahkan proses persalinan.

Terdapat telaah sistematis di Cochrane Database terhadap 30 penelitian terkontrol dengan total 9015 subjek wanita yang menjalani persalinan normal tanpa intervensi anestesi spinal. Telaah sistematis ini untuk meneliti apakah ada perbedaan antara melahirkan dengan posisi upright (duduk, jongkok, atau berlutut) dengan posisi berbaring biasa. “Manfaat klinis” yang diteliti dilihat dari durasi mengejan, apakah memerlukan bantuan persalinan (forceps atau vakum), apakah pada akhirnya butuh dioperasi, episiotomi, apakah ada robekan pada jalan lahir, berat ringannya perdarahan, dan kondisi distress pada janin. 

Untuk lamanya mengejan, ditemukan bahwa posisi tegak bisa memperpendek durasi mengejan, tetapi tidak mengurangi tingkat operasi. Demikian juga dengan tingkat penggunaan alat bantu seperti vakum dan forsep yang berkurang dengan posisi tegak. Dengan demikian, tampaknya posisi tegak tidak banyak mempengaruhi diameter jalan lahir atau rongga panggul. Untuk tingkat episiotomi, posisi tegak mengurangi episiotomi, namun jumlah robekan spontan bertambah, walaupun jumlah robekan perineum derajat berat (grade 3-4) tidak berbeda. Akan tetapi, karena penelitian-penelitian yang dikumpulkan dalam review tersebut kualitasnya dinilai rendah, ditambah adanya variasi hasil antar penelitian dan metode analisisinya, maka kesimpulan ini masih dinilai prematur (belum kuat dan meyakinkan). 

Oleh karena itu, penelitian-penelitian untuk menilai manfaat dan risiko berbagai posisi persalinan masih diperlukan untuk dapat diambil kesimpulan yang lebih akurat dan lebih meyakinkan. Meskipun demikian, sebelum proses persalinan, seorang wanita tetap dimotivasi untuk mengambil posisi apapun yang membuat dia nyaman. [1]

Untuk melahirkan dalam kolam air yang dipromosikan oleh orang-orang tersebut, sudah ada pula tinjauannya dalam masalah waterbirth. Waterbirth memang bisa mengurangi nyeri persalinan, tetapi rekomendasi yang ada belum mendukung keuntungan waterbirth saat detik-detik persalinan atau saat bayi lahir. Disarankan agar wanita yang sedang bersalin berpindah ke tempat kering saat bayi sudah akan lahir, untuk menghindari komplikasi-komplikasi yang tidak diinginkan. 

Baca Juga: Tidur Miring Ke Kiri Bagi Ibu Hamil

Apakah Tenaga Medis Tidak Pro Persalinan Normal?

Ada kesan bahwa orang-orang yang mendengung-dengungkan persalinan syar’i itu karena tenaga medis tidak pro dengan persalinan normal. Ini adalah sebuah kekeliruan. Dalam ilmu kedokteran, operasi sesar adalah tindakan darurat yang hanya boleh dilakukan dengan indikasi medis tertentu, baik untuk menyelamatkan ibu hamil, si janin, atau kedua-duanya. Tanpa ada indikasi medis, maka persalinan tetap diusahakan secara normal, sampai ada kondisi darurat yang mengharuskan untuk dioperasi.

Sebagai pendukung adalah contoh nyata ketika penulis tinggal agak lama di Belanda dalam rangka menyelesaikan sekolah. Kami dapati sistem kesehatan (sistem rujukan) di sana adalah bahwa persalinan seorang ibu hamil itu harus dibantu oleh bidan secara normal jika tidak ada indikasi penyulit dalam persalinan. Tidak boleh seorang ibu hamil melahirkan dengan dibantu oleh dokter kandungan jika tidak ada indikasi, meskipun dia mampu membayar sendiri. Juga, tidak boleh melahirkan dengan dioperasi tanpa ada indikasi.

Kami tidak memungkiri bahwa ada sebagian kecil dokter yang melakukan operasi sesar tanpa indikasi. Akan tetapi, tentu tidak bisa digeneralisir bahwa semua dokter demikian. Operasi sesar tanpa indikasi medis itu tidak diperbolehkan, sebagaimana yang difatwakan oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullahu Ta’ala,

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullahu Ta’ala mengatakan,

ويتساهل كثير من الأطباء في اللجوء إلى العملية القيصرية ؛ طمعاً منهم في المال ، أو لعدم صبره على الأم أثناء الطلق للولادة الطبيعية ، كما أن بعض النساء تطلب هذه العملية للحفاظ على رشاقة جسدها ، أو للتخلص من آلام الولادة .
ولا شك أن في هذا الفعل تضييعاً لفوائد متعددة ، كما أنه قد يسبب آثاراً على الأم وولاداتها المستقبلية ، ومنه ما أشار إليه الأخ السائل .

“Banyak dokter [2] bermudah-mudah untuk melakukan operasi caesar, karena keinginan mendapatkan harta, atau karena tidak sabar menunggu ibu untuk melahirkan normal. Sebagaimana sebagian wanita meminta operasi untuk menjaga kondisi tubuhnya, atau supaya tidak merasakan sakit melahirkan. 

Tidak kita ragukan lagi bahwa perbuatan semacam ini menghilangkan faidah yang banyak (dari melahirkan secara normal). Sebagaimana hal ini juga bisa berpengaruh terhadap ibu dan anaknya di masa mendatang.” [3]

Baca Juga: Kapan Wanita Hamil Meng-Qadha Puasa?

Persalinan Syar’i dalam Pandangan Ulama

“Persalinan syar’i”, “Qur’anic birth” dan yang semacamnya bukanlah istilah yang biasa dipakai oleh para ulama

Menisbatkan atau menyandarkan sesuatu kepada syariat Allah Ta’ala dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu membutuhkan ilmu dan dalil, tidak bisa dilakukan secara serampangan tanpa kaidah. Mengklaim sesuatu atas nama syariat itu perkara berbahaya, karena berbicara atas nama Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal Allah Ta’ala melarang keras berbicara tentang syari’at atau menisbatkan sesuatu kepada syariat (misalnya dengan memberi label “syar’i”) dalam firman-Nya,

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

“Katakanlah, “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu).” (QS. Al-A’raf :33)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Siapa yang sengaja berdusta atas namaku (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka silakan ambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 3)

Baca Juga: Hukum Memakai Kondom Untuk Mencegah Kehamilan

Contoh Kasus 1

Contoh, di antara minuman yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sukai untuk diminum di pagi hari adalah air nabidz, yaitu air hasil rendaman kurma selama semalam. Tentu saja, di pagi hari ketika hendak diminum, air nabidz ini adalah air dingin. Sehingga air dingin adalah di antara air minum kesukaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ أَحَبُّ الشَّرَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الحُلْوَ البَارِدَ

“Minuman yang paling disukai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah minuman manis dan dingin.” (HR. Tirmidzi no. 1895 dan Ahmad 40: 120, shahih)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan maksud hadits di atas,

والمقصود: أنه إذا كان باردا، وخالطه ما يحليه كالعسل أو الزبيب، أو التمر أو السكر، كان من أنفع ما يدخل البدن، وحفظ عليه صحته، فلهذا كان أحب الشراب إلى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – البارد الحلو.

“Maksudnya adalah air dingin yang dicampur dengan bahan yang bisa membuatnya terasa manis seperti madu, kismis, kurma, atau gula. Ini adalah yang lebih bermanfaat ketika masuk masuk ke dalam tubuh dan bisa menjaga kesehatan. Oleh karena itu, minuman yang paling disukai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah minuman dingin dan manis.” (Zaadul Ma’aad,  4: 292)

Apakah semata-mata membaca hadits tersebut kemudian para ulama menyimpulkan bahwa “minuman syar’i” atau “minuman sunnah” adalah minum air dingin di pagi hari? Atau, adakah ulama yang mengatakan: “dianjurkan atau disunnahkan minum air dingin di pagi hari”? Padahal, kebiasaan yang kita lakukan adalah minum teh hangat di pagi hari ditambah pisang goreng panas (misalnya). Tentu tidak ada satu pun ulama yang menyebutkan bahwa perbuatan atau kebiasaan kita tersebut (minum teh hangat di pagi hari) adalah “perbuatan yang menyelisihi sunnah”. Tentu tidak tepat adanya kesimpulan demikian.

Hal ini  karena perbuatan (fi’il) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang memang beliau maksudkan untuk ibadah (ta’abbudiyyah), sehingga itu menjadi sesuatu yang disyariatkan. Seperti tata cara shalat dan tata cara manasik haji. Akan tetapi, ada di antara perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan karena faktor adat kebiasaan atau faktor kemanusiaan (jibillah), seperti makan, minum, tidur, jenis pakaian, dan sejenisnya. Jenis yang kedua ini tidaklah beliau lakukan karena untuk menjadi bagian dari syariat (tasyri’). Rincian semacam ini kita dapati dalam pelajaran ushul fiqh.

Baca Juga: Nasehat Ulama Bagi yang Gelisah Tak Kunjung Hamil

Contoh Kasus 2

Contoh lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai gamis. Namun tidak disebut oleh para ulama bahwa “memakai gamis itu hukumnya sunnah”, sehingga pakaian selain itu (kemeja, baju batik, sarung) itu artinya “menyelisihi sunnah”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai tongkat karena ini adalah kebiasaan orang Arab dahulu. Hal ini karena dulu tongkat biasa dipakai untuk menggembalakan hewan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Namun bukan berarti bahwa “disyariatkan jalan ke mana-mana memakai tongkat”.

Demikian juga jenis kendaraan yang Nabi shallallahu’alaihi wa sallam gunakan, bentuk rumah yang beliau tinggali, bentuk tempat tidur yang beliau gunakan, jenis bantal yang beliau gunakan, jenis sandal yang beliau gunakan, dan semisalnya, ini semua bukan merupakan sunnah yang dituntunkan untuk diikuti oleh kita sebagai umatnya. Namun maksimalnya, hanya memberikan faidah bahwa hal-hal tersebut hukumnya mubah, tidak sampai sunnah (dianjurkan), apalagi sampai derajat wajib.

Al-Imam Al-Juwaini rahimahullah dalam matan kitab ushul fiqh Al-Waraqat mengatakan,

فعلُ صاحب الشريعة لا يخلو إما أن يكون على وجه القُربة والطاعة أو غير ذلك، فإن دَلَّ دليل على الاختصاص به يُحمل على الاختصاص، وإن لم يدل لا يخصص به؛ لأن الله – تعالى- يقول: ﴿لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ﴾ [الأحزاب: 21]، فيُحمل على الوجوب عند بعض أصحابنا، ومن أصحابنا من قال: يُحمل على الندب، ومنهم من قال: يُتوقف عنه، فإن كان على وجه غير القربة والطاعة، فيُحمل على الإباحة في حقه وحقنا

“Perbuatan shahibus syari’ah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak lepas dari (dua keadaan): [1] dilakukan dalam rangka qurbah (ibadah) dan melakukan ketaatan, serta [2] yang dilakukan bukan dalam rangka qurbah atau melakukan ketaatan. Dan jika (perbuatan yang berupa qurbah) ditunjukkan oleh dalil bahwa ia khusus bagi Nabi, maka dimaknai sebagai kekhususan Nabi. Namun jika tidak ada dalil, maka tidak dimaknai sebagai kekhususan Nabi. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik bagi kalian” (QS. Al-Ahzab: 21). Maka perbuatan Nabi (yang berupa qurbah dan bukan kekhususan Nabi) dimaknai sebagai suatu kewajiban (bagi umat) menurut sebagian ulama madzhab kami. Dan sebagian ulama mengatakan: dimaknai sebagai penganjuran, dan sebagian ulama mengatakan: tawaqquf (tidak menentukan hukum apapun). Namun perbuatan Nabi yang dilakukan bukan dalam rangka qurbah atau melakukan ketaatan, maka dimaknai sekedar sebagai pembolehan bagi beliau dan bagi kita.

Jika demikian para ulama menyikapi perbuatan Nabi shallalalhu ‘alaihi wa sallam, lalu bagaimana lagi kalau perbuatan itu adalah perbuatan umat-umat terdahulu sebelum diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Bunda Maryam itu bukan umat Nabi shallalalhu ‘alaihi wa sallam. Taruhlah bahwa persalinan yang beliau lakukan itu adalah dalam rangka mengamalkan petunjuk syariat yang ada saat itu, tidak otomatis hal itu juga disyariatkan dalam syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Oleh karena itu, dalam ilmu ushul fiqh terdapat pembahasan, apakah syariat umat-umat terdahulu itu otomatis menjadi syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Baca Juga: Perselisihan Ulama Mengenai Puasa Wanita Hamil dan Menyusui

Contoh Kasus 3

Contoh yang masih berkaitan dengan bunda Maryam, Allah Ta’ala menyebutkan dalam ayat ke-26 bahwa bunda Maryam bernadzar untuk puasa dari berbicara. 

فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

“Maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.” (QS. Maryam [19]: 22-26)

Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat ke-26,

لا تخاطبيهم بكلام، لتستريحي من قولهم وكلامهم. وكان معروفا عندهم أن السكوت من العبادات المشروعة، وإنما لم تؤمر بخطابهم في نفي ذلك عن نفسها لأن الناس لا يصدقونها، ولا فيه فائدة

“Janganlah Engkau berbicara kepada mereka, agar Engkau tenang dari perkataan dan omongan (celaan) mereka. Sudah dikenal pada zaman umat terdahulu bahwa diam adalah ibadah yang disyariatkan. Semata-mata Maryam diperintahkan untuk tidak berbicara demi membela dirinya karena orang-orang tidak akan mempercayainya. Sehingga pembicaraan itupun tidak berfaidah.(Taisiir Karimir Rahman, hal. 492)

Mari kita cermati perkataan beliau di atas. Berdiam diri (baca: tapa bisu) adalah ibadah yang disyariatkan untuk umat-umat terdahulu. Namun, ibadah tersebut tidaklah disyariatkan untuk umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa saja yang meyakininya sebagai ibadah, maka dia terjatuh ke dalam bid’ah.

Apakah para pembuat istilah persalinan syar’i atau persalinan Maryam itu juga akan menganjurkan para ibu hamil atau ibu ketika melahirkan untuk bernadzar tidak usah berbicara seharian itu? Sekali lagi, jika mereka konsisten dengan pola pikir mereka, tentu mereka juga akan menganjurkan ibu hamil atau ibu yang baru melahirkan untuk puasa berbicara. 

Baca Juga: Tahnik itu Sunnah atau Kekhususan Bagi Nabi Saja Shallallallhu ‘alaihi wa sallam?

Usaha Menekan Angka Kematian Ibu Hamil

Angka kematian ibu hamil di Indonesia masih tinggi di Asia Tenggara. Angka kematian ibu hamil di Indonesia masih 9 kali lebih tinggi dibandingkan Malaysia dan 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam. Dengan Kamboja saja, angka kematian ibu hamil di Indonesia masih 2 kali lipat lebih tinggi. [4] Padahal, sebagian besar penyebab kematian tersebut bisa dicegah dan diselamatkan. 

Seorang ibu hamil bisa jadi tidak menunjukkan masalah apa pun pada saat kontrol selama kehamilan (antenatal care, ANC). Akan tetapi, terjadi perdarahan hebat setelah persalinan yang akhirnya menyebabkan kematian. Ini adalah penyebab tertinggi kematian ibu hamil di Indonesia. Masalah lain adalah tekanan darah yang tinggi, disebut dengan pre eklampsia dan eklampsia. Masalah lain adalah partus (melahirkan) lama atau partus macet. Sehingga setiap kehamilan adalah berisiko. Namun, terkadang sulit untuk mendeteksi manakah yang akan mengalami komplikasi saat kehamilan dan persalinan.

Akses ke fasilitas kesehatan yang memiliki fasilitas peralatan medis yang memadai adalah di antara faktor utama tingginya angka kematian ibu di Indonesia. Seorang ibu hamil, apalagi dengan riwayat kehamilan dan persalinan sebelumnya yang bermasalah, perlu dipastikan bahwa ada akses cepat ke fasilitas kesehatan tersebut ketika terjadi masalah selama proses persalinan. Hal ini karena setiap ibu hamil yang mengalami penyulit saat persalinan memerlukan pelayanan cepat dalam hitungan menit dan jam.

Dengan ramainya klaim “persalinan Maryam” atau “persalinan syar’i” kemudian para ibu hamil ini didorong untuk melahirkan di rumah dan jauh dari fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan profesional terlatih, maka kami khawatir bahwa pekerjaan kita, baik pemerintah dan tenaga medis, untuk menekan angka kematian ibu hamil masih perlu perjuangan lebih keras lagi.

Mengapa demikian? Inilah pernyataan yang kami temukan dari para motivator persalinan Maryam,

“Kalau pinggul sempit tugas kita bagaimana melebarkannya. Bukan menyerah dengan keadaan!

Kalau ga bisa masuk panggul, berpikirlah gimana caranya masuk

Kalau kesakitan cari metode dan posisi yang alami yang memberikan efek anastesi natural

Kalau ga keluar dan lama cari penyebabnya apa yang menghalangi bayi sehingga lambat keluar

Bila Kondisi darurat. Harus cepat improfisasi.” [5]

Baca Juga: Memahami Tanda-Tanda Baligh

Kesimpulan

Istilah “persalinan Maryam”, “persalinan syar’i”, “Qur’anic birth”, “Islamic natural birth”, dan istilah semacamnya adalah istilah yang tidak tepat, karena menyandarkan sesuatu sebagai bagian dari agama tanpa dalil dan petunjuk para ulama terpercaya. Sejenis dengan istilah ini misalnya jargon “Rasulullah is my doctor”; atau  “Diet ala Nabi”; “Jurus sehat Rasulullah”, “Cara sehat Rasulullah” dan sejenisnya. Sehingga istilah-istilah itu tidak ada kaitannya dengan thibb nabawi.

Orang-orang yang mempopulerkan istilah ini harus bersiap menerima ancaman sebagaimana dalam ayat ini,

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

“Janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta bahwa ini halal dan ini haram, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. An-Nahl [16]: 116)

Juga ancaman dalam hadits ini,

مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa yang berbicara atas namaku (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), sesuatu yang tidak aku ucapkan, maka hendaklah dia siapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 109)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah ingatkan bahwa berdusta atas nama beliau itu tidak sama dengan dusta atas nama selain beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ، مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Sesungguhnya berdusta atas namaku itu tidak sama seperti berdusta atas nama orang lain. Siapa yang sengaja berdusta atas namaku (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka silakan ambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4)

Dan suatu hal yang perlu kita renungkan bersama, apakah tafsir-tafsir terhadap ayat-ayat Al-Qur’an di atas sesuai dengan pemahaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya? Adakah di antara mereka yang mengamalkan “qur’anic birth” atau “persalinan Maryam”? Bukankah mereka para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah kaum yang paling memahami ayat-ayat Allah dan paling semangat dalam mengamalkannya? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

من فسر القرآن أو الحديث و تأوله على غير التفسير المعروف عن الصحابة و التابعين فهو مفتر على الله، ملحد في آيات الله، محرف للكلم عن موضعه، و هذا فتح لباب الزندقة و الإلحاد و هو معلوم البطلان بالإضطرار من دين الإسلام

“Barangsiapa menafsirkan Al-Qur’an atau hadits atau menakwilkannya sehingga tidak menafsirkannya dengan tafsir yang dikenal oleh para sahabat dan tabi’in, maka dia telah telah membuat-buat kedustaan terhadap Allah, menyelewengkan ayat-ayat Allah, dan mengubah-ubah kalimat-kalimat Allah dari tempatnya. Ini akan membuka pintu bagi orang-orang zindiq dan orang-orang yang menyimpang lainnya, dan ini adalah perkara yang sangat jelas kebatilannya dalam agama Islam.” (Majmu’ Al-Fatawa, 13: 243)

Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan juga dalam menisbatkan atau menyandarkan sesuatu kepada Allah Ta’ala dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya berdasarkan pemahaman dan kreasi diri sendiri, tanpa pemahaman salaf atau tanpa ada satu pun ulama yang pernah mengatakan demikian. Wallahu Ta’ala a’lam. [6]

Baca Juga:

[Selesai]

***

@Kantor YPIA, 22 Shafar 1441/21 Oktober 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim


Artikel asli: https://muslim.or.id/52302-persalinan-syari-persalinan-maryam-persalinan-qurani-2.html